Orientasi Baru Ilmu Pendidikan

Selasa, 05 Juni 2018

Pendidikan Alternatif
Juni 05, 20181 Comments


PENDIDIKAN ALTERNATIF



https://dcps.duvalschools.org/domain/8617


『Latar belakang Pendidikan Alternatif
Kehadiran pendidikan alternatif marak di awal-awal tahun 1970-an terutama disebabkan oleh adanya kebutuhan akan pendidikan yang begitu luas terutama di negara-negara berkembang. Meluasnya kebutuhan akan pendidikan tidak terimbangi dengan ketersediaan akses pendidikan yang layak, hal ini disebabkan adanya kegagalan pendidikan formal. Sebagaimana diungkapkan oleh Paulston dan Le Roy (1972: 338) bahwa pendidikan formal mengalami kegagalan logistik dan fungsi sehingga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang begitu besar dan cepat maka munculah sistem pendidikan alternatif di luar pendidikan formal. Kehadiran pendidikan alternatif adalah untuk menjawab tantangan kehidupan yang bertambah kompleks, dimana dituntut pengembangan kualitas sumber daya manusia yang mampu mandiri.
Pendidkan alternatif sebagai sebuah bagian dari sistem pendidkan memiliki peran yang sangat penting dalam rangka pelayanan pendidikan sepanjang hayat, yang sangat dibutuhkan saat ini dan ke depan. Pendidikan alternatif dianggap sebagai pendidikan yang mampu memberikan jalan serta pemecahan bagi persoalan-persoalan layanan pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani oleh pendidikan formal.
Pada banyak hal pendidikan luar sekolah dirasakan sebagai sebuah formula yang sangat ideal serta lebih memihak masyarakat dibandingkan dengan pendidikan formal. Namun demikian pendidikan luar sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan formal apalagi dalam konteks pendidikan sepanjang hayat.
Pelaksanaan pendidikan luar sekolah dalam prosesnya harus memperhatikan bahwa setiap orang menganut dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama mengenai situasi-situasi tertentu dalam bentuk norma-norma sosial, maka tingkah laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu struktur sosial. Program pendidikan luar sekolah yang tidak sejalan dengan nilai dan struktur masyarakat akan gagal diterima.
Peran pendidikan luar sekolah sebagai substitusi atau pengganti pendidikan persekolahan. Warga belajar dari kegiatan pendidkan luar sekolah sebagai substitusi adalah anak, pemuda ataupun orang dewasa, yang oleh karena berbagai hal tidak memiliki kesempatan bersekolah. Tidak semua hal yang dibutuhkan oleh peserta didik dalam menempuh perkembangan fisik dan psikisnya dapat diajarkan dalam kurikulum sekolah. Dengan demikian peran pendidkan luar sekolah merupakan saluran yang tepat untuk menampung kebutuhan peserta didik tersebut.

『Tujuan dan Manfaat Pendidikan Alternatif
Tujuan dari pendidikan alternatif agar peserta didik dapat berkembang lebih nyaman dan optimal dalam segala kebutuhan dan permasalahan pada zamannya. Manfaat dari pendidikan alternatif adalah membuat pelajar menjadi kreatif sehingga selalu muncul inovasi-inovasi dan orientasi-orientasi baru dalam pendidikan.

『Jenis-jenis Pendidikan Alternatif
→ Pendidikan Homeschooling
Inovasi pendidikan harus terus ditingkatkan, mengingat masih banyak persoalan pendidikan yang belum tertangani dengan baik oleh metode konvensional, khususnya dalam mengakomodir keberagaman yang dimiliki oleh peserta didik dari segi karakter, kecerdasan, latar belakang, perkembangan fisik, mental, minat, bakat, gaya belajar dan sebagainya. Keberadaan model pendidikan home schooling harus disikapi sebagai sebuah bentuk alternatif model pendidikan dan bangkitnya kesadaran para orang tua akan tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak-anak mereka.
“Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.” Itulah bunyi pasal 1, ayat 1 Undang-undang Sisdiknas RI nomer 20 Tahun 2003.
Home schooling secara etimologis dapat dimaknai sebagai sekolah rumah. Namun pada hakekatnya home schooling merupakan sebuah sekolah alternatif yang mencoba menempatkan anak sebagai subjek belajar dengan pendekatan pendidikan secara at home.

   Karakteristik Model Pendidikan Homeschooling  
     Secara umum karakteristik model pendidikan homeschooling dapat diidentifikasikan sebagai berikut
    1)Orientasi pendidikan lebih menekankan pada pembentukan karakter pribadi dan perkembangan potensi bakat, dan minat anak    secara alamiah dan spesifik.
    2)Kegiatan belajar bisa terjadi secara mandiri, bersama orang tua, bersama tutor, dan di dalam suatu komunitas.
    3)Orang tua memegang peran utama sebagai guru, motivator, fasilitator, dinamisator, teman diskusi dan teman dialog dalam menentukan kegiatan belajar dan dalam proses 5 kegiatan belajar. 
    4)Keberadaan guru(tutor) lebih berfungsi sebagai pembimbing dan pengarah minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya.
    5)Adanya fleksibilitas pengaturan jadwal kegiatan pembelajaran.
  
   Persyaratan Pelaksanaan Homeschooling oleh Orangtua 
     Ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi para orang tua yang ingin melaksanakan model pendidikan homeschooling agar berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan homeschooling itu sendiri, antara lain yaitu: (1) mencintai anak-anak, ( 2) kreatif, (3) sabar dan bersahabat dengan anak, (4) memahami kebutuhan dan keinginan anak, (5) mengetahui kemampuan dan ketertarikan anak, 9 (6) mau mendengar dan bernegosiasi, (7) mau berubah, fleksibel, dan tanggap, (8) memahami kondisi fisik, psikis, dan mood anak, (9) memiliki kemauan untuk mau tahu standar kompetensi dan standar isi kurikulum nasional yang sudah diakui, (10) memiliki komitmen waktu untuk belajar bersama anak.
Sesungguhnya homeschooling bukanlah sesuatu yang sama sekali baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Bangsa Indonesia sudah sejak lama mengenal homeschooling, jauh sebelum sistem pendidikan Belanda hadir di bumi Indonesia ini. Di pesantren-pesantren misalnya, banyak para kiai dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya di rumah. Demikian juga para pendekar dan bangsawan zaman dahulu.
Berkembangnya fenomena home schooling di Indonesia dikategorikan menjadi tiga :
1.  Fenomena home schooling tumbuh di masyarakat kalangan menengah ke atas yang memahami falsafah pendidikan dalam konteks pencerahan dan pembebasan. Keluarga seperti ini memilih home schooling sebagai jawaban atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik pengekangan terhadap hak tumbuh kembang anak secara wajar. Di samping itu, komunitas seperti ini sangat memahami prinsip multikecerdasan, tanpa terjebak aspek akademik semata.
2.  Home schooling tumbuh dalam konteks lingkungan keluarga miskin yang kesulitan mengakses pendidikan formal yang cukup mahal. Dalam konteks ini, fenomena tumbuhnya home schooling tidak didasarkan pada pemahamannya yang mendalam terhadap falsafah pendidikan dalam konteks pencerahan dan membebaskan, tetapi lebih didasarkan atas ketidakberdayaannya secara ekonomi untuk mengenyam pendidikan formal yang elitis.
3.      Fenomena persekolah di rumah tumbuh dalam konteks lingkungan keluarga yang anaknya memiliki aktifitas kegiatan atau pekerjaan yang banyak bertubrukan dengan jam pelajaran yang dijadwalkan oleh sekolah-sekolah formal. Sekolah rumah dalam konteks ini biasanya terjadi pada keluarga yang anaknya menjadi artis, atlet, penyanyi dan lainnya yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan kegiatannya dengan jam belajar di sekolah formal.

Klasifikasi Home Schooling
Secara umum penyelenggaraan home schooling dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu:

1.  Home schooling tunggal adalah home schooling yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lain. Home schooling macam ini biasanya diterapkan karena adanya tujuan atau alasan khusus yang tidak dapat diketahui atau dikompromikan dengan komunitas home schooling lain. Alasan ini bisa karena lokasi atau tempat tinggal si home schooler yang tidak memungkinkan berhubungan dengan komunitas home schooling lain.
2.   Home schooling majemuk adalah home schooling yang diselenggarakan secara kelompok oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu berdasarkan kesamaan bakat dan minat, sementara kegiatan pokoknya tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing. Jenis home schooling ini dilaksanakan dengan alasannya terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluargab untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya: misalnya home schooling pada beberapa keluarga atlet tenis, keahliah musik, kegiatan sosial dan kegiatan keagamaan.
3.  Komunitas home schooling adalah gabungan dari beberapa model home schooling majemuk dengan kurikulum yang lebih terstruktur sebagaimana pendidikan formal. Ada silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, sarana prasarana, dan jadwal pembelajaran. Komitemen penyelenggaraan home schooling biasanya 50% oleh keluarga dan 50% oleh komunitas.

Ada beberapa alasan dipilihnya komunitas home schooling oleh keluarga, antara lain: a) memiliki sistem yang lebih terstruktur dan lebih lengkap untuk pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia, dan pencapaian hasil belajar; b) menyediakan fasilitas pembelajaran yang baik seperti bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA dan bahasa, auditórium, fasilitas olah raga dan kesenian; c) ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat dikendalikan; d) terdapat dukungan yang lebih besar karena masingmasing bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai keahlian masing-masing; e) sesuai untuk anak usia di atas sepuluh tahun; f) untuk keluarga yang tingal berjahuan dapat bergabung melalui Internet dan alat informasi-komunikasi lainnya sebagai pembanding guna mencapai kualitas yang standar.

Setiap home schooling memiliki penekanan kurikulum yang berbeda, tidak terstruktur secara seragam. Dilihat dari acuan kurikulum akademik yang digunakan secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: kurikulum versi pemerintah Indonesia dan versi negara asing. Untuk kurikulum versi Indonesia: Kurikulum home schooling dikembangkan secara bervariasi dengan tetap mengacu kepada standar isi kurikulum depdiknas. Untuk versi asing: Kurikulum home schooling mengadopsi pada sekolah klasikal di negara maju seperti Amerika Serikat.

『Model pelaksanaan Homeschooling di Indonesia
Secara umum model pelaksanaan homeschooling di Indonesia dapat diidentifikasikan sebagai  berikut:
a) Pelaksanaan kegiatan pembelajaran murni dilakukan oleh orang tua di rumah/lingkungan;
b) Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dilakukan oleh orang tua dan tutor di rumah dan di dalam komunitas. Biasanya kegiatan di komunitas dilaksanakan 2 kali dalam seminggu;
c) Pelaksanaan kegiatan menggunakan sistem campuran: 3 hari di sekolah formal yang mendukung home schooling dan selebihnya di rumah/lingkungan oleh orang tua; dan
d)Pelaksanaan kegiatan pembelajaran bergabung dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dengan tatap muka minimal 5x3 jam per minggu, selebihnya mandiri dan bersama orang tua.



Pendidikan Inklusi
Inklusi adalah praktek yang mendidik semua siswa, termasuk yang mengalami hambatan yang parah ataupun majemuk, di sekolah-sekolah reguler yang biasanya dimasuki anak-anak non berkebutuhan khusus.
 Pendidikan inklusi merupakan praktek yang bertujuan untuk pemenuhan hak azasi manus ia atas pendidikan, tanpa adanya diskriminasi, dengan memberi kesempatan pendidikanyang berkualitas kepada semua anak tanpa perkecualian, sehingga semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi pribadinya dalam lingkungan yang sama. Pendidikan inklusi juga bertujuan untuk membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar serta membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah pada seluruh warga Negara.

Model Pembelajaran Inklusi
      Pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model
      sebagai berikut (Ashman, 1994 dalamEmawati, 2008):
1. Kelas Reguler(Inklusi Penuh) : Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2. Kelas Reguler dengan Cluster : Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas Reguler dengan Pull Out : Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out : Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktuwaktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengangurupembimbing khusus.
5. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian : Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler.
6. Kelas Khusus Penuh : Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular. Sikap guru terhadap pendidikan inklusi adalah gambaran yang positif atau negatif dari komitmen guru dalam mengembangkan anak berkebutuhan khusus. Sikap positif dari guru, anak berkebutuhan khusus akan mendapat lebih banyak kesempatan dalam bidang pendidikan untuk belajar bersama teman sebayanya. Sikap guru yang negatif menggambarkan harapan yang rendah terhadap anak berkebutuhan khusus di kelas inklusi.

『Faktor yang mempengaruhi sikap guru
1. Siswa, konsep guru terhadap siswa berkebutuhan khusus biasanya bergantung
pada jenis hambatan siswa, tingkat keparahan hambatan siswa, dan kebutuhan siswa akan pendidikan.
2.  Faktor guru terbagi dalam beberapa variabel, yaitu: 
a.  Gender, Faktor gender ini berkaitan dengan isu gender terhadap inklusi toleransi yang lebih tinggi dibandingkan guru laki-laki terhadap integrasi untuk siswa berkebutuhan khusus 
b.  Usia dan Pengalaman Mengajar Guru yang lebih muda dan dengan pengalaman mengajar yang masih sedikit memiliki sikap yang mendukung terhadap integrasi. 
c. Tingkat Kelas yang diajar, bahwa bagi guru yang lebih memperhatikan materi pelajaran,kehadiran siswa berkebutuhan khusus di dalam kelas mereka menjadi masalah tersendiri dalam praktek pengurusan aktivitas kelas. d. Pengalaman Kontak dengan Siswa Berkebutuhan Khusus Sebuah hipotesis mengenai kontak dengan siswa berkebutuhan khusus menyebutkan bahwa kontak dengan siswa berkebutuhan khusus semakin dekat, maka sikap yang dimiliki guru semakin positif.

『Permasalahan dalam Pendidikan Inklusi 
1.      Pemahaman inklusi dan implikasinya
·Pendidikan inklusi bagi anak berkelainan/penyandang cacat  belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya  memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka  give education right, easy access education,  and againt discrimination.
·Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah.
· Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap   proactive  dan  ramah terhadap semua anak, menimbulkan  komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan.

2.      Kebijakan sekolah
·Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan  koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait.
· Masih terdapat  kebijakan  yang kurang tepat, yaitu  guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.

3.      Proses pembelajaran

·Proses pembelajaran  belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi.
·Guru cenderung masih mengalami kesulitan  dalam merumusakan  flexible curriculum, pembuatan  IEP,  dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
·Masih terjadi kesalahan praktek bahwa  target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya  serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.
·Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan  media, resource,  dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak.

4.      Kondisi guru
·Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang yang tidak sensitif
·Keberadaan guru khusus  masih  dinilai  belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK. 

 5.      Sistem dukungan
·Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus,  tenaga ahli, perguruan tinggi, dan pemerintah masih  dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas.
·Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci  keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua  sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.


Pendidikan berbasis Intrinsik
Pendidikan intrinsik ini lebih menekankan aspek yang terdalam bagi individu dalam memberikan pembelajaran sehingga akan berdampak panjang. Pendidikan ini lebih menekankan aspek keikhlasan untuk berbuat sesuatu, kesesuaian dengan minat, bakat individu dalam memperoleh pengalaman. Contoh nya yaitu dalam pembelajaran matematika dengan menekankan konsep secara detail, melalui pengalaman, percobaan, eksplorasi oleh si pembelajar. Orientasi intrinsik masih belum berkembang di Indonesia, tetapi ilmu ini lebih banyak berkembang di Perancis dan Jerman. Intrinsik behavior terkait dengan perilaku yang tidak dapat segera diartikan  atau diamati. Sebagai contoh nya yaitu ahlak manusia, karakter, (sebelum nya harus ada interpretasi dari individu). Dan contoh intrinsik dalam membentuk karakter building selalu menyatukan diri dengan yang ada disekeliling nya.

Pendidikan Progresif-Pragmatis Berdasarkan Pemikiran John Dewey “Learning By Doing”
John dewey adalah seorang filsuf dari Amerika yang termasuk dalam aliran Pragmatisme, selain itu ia juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan. Pendidikan Dewey ini banyak berpengaruh pada praktek pendidikan di masa sekarang ini. konsep dewey tentang pendidikan diwarnai oleh pemikiran pendidikan yang progresif, dimana pertumbuhan, perkembangan, evolusi dan kemajuan dalam perbaikan merupakan elemen untuk menjadi pendidikan yang lebih progressive. Pendidikan inilah yang mempelopori sebagai pendidikan kontemporer.

Pendidikan Berbasis Cinta ( Love Pedagogy )
Pendidikan berbasis cinta berawal dari pemikiran Paulo Freire. Ia menegaskan bahwa pendidikan adalah suatu tindakan kasih, dengan demikian pendidik harus menanggung risiko tindakan cinta. Sebagai perwujudan dari sikap professional nya para guru atau pengajar dituntut untuk mencitai pekerjaan nya dan juga memiliki rasa cinta terhadap peserta didik mereka. Cinta yang tertebar dalam kelas ataupun pembelajaran membuat pendidik menjadi semangat untuk “memodifikasi” peserta didik nya secara adil dan iklas. Yang dimaksud “cinta” disini yaitu bukan yang romantisme ataupun nafsu. Pendidikan harus berbasis cinta karena “cinta memiliki kekuatan untuk menginspirasi peserta didik di luar pengetahuan yang didapat nya, cinta dapat menyatukan pendidik dan peserta didik dalam mencari ilmu, dan cinta dapat pula mendorong peserta didik untuk terus belajar melampaui batas-batas kemampuan yang ada pada diri nya” (Cho, 2005)

Pembelajaran Berbasis Cara Berfungsinya Otak
Otak telah diteliti oleh banyak ilmuwan selama dua dekade terakhir ini. Penelitian ini disambut sangat baik oleh para pendidik. Sambutannya berbentuk cara menerapkannya sebagai pendekatan dalam sistem pembelajaran. Tujuannya yaitu menyelaraskan antara pembelajaran dengan cara kerja otak sesungguhnya yang telah didesain secara alamiah untuk belajar. Paradigm baru ini disebut pembelajaran Brain Compatible atau Brain Base.
            Menurut para ilmuwan, otak memiliki keunikan yang sama dengan sidik jari karena memiliki variabilitas. Variabilitas otak merefleksikan banyak faktor, seperti genetik-genetik dan pengaruh lingkungan. Otak akan menghasilkan peta kognitif personal, yaitu berasal dari koneksi antara sel-sel yang tercipta karena pengalaman. Oleh karena itu, otak tidak hanya unik tetapi dapat juga berkembang dengan caranya sendiri.

『Unsur-unsur Kurikulum dalam Pembelajaran Berbasis Otak
Setelah mengenal tentang otak pada paragraf sebelumnya, maka kita perlu tahu unsur-unsur kurikulum yang harus ada jika kita ingin menerapkan pembelajaran berbasis fungsi otak, yakni:
1.      Kefasihan sosial
Kita semua tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial. Jadi, unsur kurikulum ini adalah tentang bagaimana mengembangkan pembelajaran agar peserta didik dapat belajar dan juga dapat berinteraksi antara satu sama lain
2.      Pengembangan Pribadi
Kurikulum ini adalah tentang bagaimana kita untuk membangun kekuatan dan keterampilan-keterampilan untuk memaksimalkan potensi dan hal tersebut adalah sasaran masyarakat dalam menghargai inovasi dan pencapaian.
3.      Ekspresi Artistik
Manusia memiliki kebutuhan untuk mengekspresikan diri melalui pikiran dan perasaan. Untuk itu, para pembelajar harus dipaparkan padanya sarana ekspresi artistic dan diberikan instruksi formal mengenai sebagian dari sarana tersebut
4.      Literasi Informasi
Untuk bertahan hidup, manusia mengandalkan informasi yang akurat, dapat diakses, dan komprehensif (baik dalam media cetak hingga elektronik). Dalam menyentuh informasi, akan muncul pertanyaan seperti: bagaimana kita mengakses informasi? Bagaimana kita memproses dan mengolahnya? Oleh karena itu, dalam aspek ini harus meliputi bidang-bidang dengan keterampilan seperti: membaca dan menulis, memburu dan mengumpulkan, manipulasi kognitif, keterampilan berbicara/presentasi, dan keterampilan digital/teknologi.
5.      Tuntunan Ilmiah
Aspek ini bertjuan agar pelajar dapat mengajukan pertanyaan, menganalisis situasi, merencanakan eksperimen, solusi strategis, merumuskan rencana tindakan, serta menginterpretasikan hasil.

Demokrasi dalam Pendidikan
“Pendidikan adalah suatu proses sosial yang didalamnya terdapat berbagai jenis masyarakat, kriteria untuk kritik pendidikan, dan konstruksi yang menyiratkan cita-cita sosial tertentu.” – Dewey (2004). Dalam pendidikan, setiap individu dapat mengembangkan potensinya secara bertanggung jawab dan tidak keluar dari peraturan yang berlaku. Dalam demokrasi pendidikan, sistem pendidikan dan sumber daya pendidikan harus terstruktur agar dapat memaksimalkan demokrasi-demokrasi pendidikan. Terdapat 4 demokrasi pendidikan yaitu
1.      Otonomi
Peserta didik harus dibimbing dan juga harus dapat membimbing dirinya sendiri. Peserta didik juga dibebaskan mengikuti suatu komunitas karena kemauannya sendiri, berdasarkan bukti, alasan dan keyakinan mereka yang kuat.
2.      Keanekaragaman
Keanekaragaman bermaksud untuk mendorong kreativitas individu. Sehingga dalam masyarakat terdapat perspektif yang unik berdasarkan wawasan dan pengalamannya masing-masing dan itu merupakan kontribusi yang berharga bagi keseluruhan.
3.      Keterbukaan
Setiap individu dapat masuk dan meninggalkan sistem, dapat menyampaikan aliran bebas ide dan artefak dalam sistem
4.      Interaktivitas
Inti dari poin ini adalah terdapat konektivitas antara civitas pendidikan dan masyarakat. Ilmu yang didapat dari pendidikan harus dapat diterapkan dalam masyarakat dan masyarakat dapat memberi kritik dan saran untuk memajukan Pendidikan.




Referensi:
Sudjana, D. (2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah, Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production.
 Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refika Aditama
Buku Kompas, (2007). Home Schooling: Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Diane Lapp, (1975). Teaching and Learning: Philosophical, Psychological, Curricular Applications. London: Collier Macmillan Publishers.
Loy Kho, (2007). Homeschooling untuk Anak, Mengapa Tidak? Yogyakarta: Kanisius.
Maulina D. Kembara, (2007). Panduan Lengkap Home Schooling. Bandung: Progressio.
Astuti, I., Sonhadji, Bafadal, I., dan Soetopo, H. (2011). Kepemimpinan Pembelajaran Sekolah Inklusi. Malang: Bayumedia
Berry, R. A. W. (2006). Inclusion, Power, and Community: Teachers and Students Interpret The Language of Community in an Inclusion Classroom. American Educational Research Journal, 43, 3, 489- 529.
Depdiknas, Dirjen Mandikdasmen, dan Direktorat PLB. (2007). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Depdiknas
Sudrajat. A. (2008). Rasa Cinta dalam Pendidikan. Dalam Let’s Talk About Education [Online], 3 Halaman. Tersedia : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/06/16/rasa-cinta-dalam-pendidikan/ [11 Desember 2009]
Reading Time:
Pendidikan Karakter
Juni 05, 20180 Comments
PENDIDIKAN KARAKTER




http://schoolweb.tdsb.on.ca/semacmillan/Students/Character-Education


“Pendidikan Karakter adalah pendidikan yang menitikberatkan muatannya pada bagaimana membentuk seseorang agar tidak hanya sekedar tahu, tetapi juga mampu mengamalkan kebenaran secara baik dan benar. Pendidikan karakter yang berhasil akan menekan timbulnya frustasi sosial di masyarakat.”


Apa itu Karakter?


Dennis Coon dalam bukunya Introduction to Psychology : Exploration and Aplication mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat.
Konsep karakter ↓
  • Karakter adalah keseluruhan perilaku psikis hasil pengaruh faktor endogen (genetik) dan faktor eksogen (lingkungan) yang membedakan satu individu dengan individu lainnya, yang menjadi determinan perilaku seseorang dalam penyesuaiannya dengan lingkungan.
  • Karakter bersifat memancar dari dalam (inside out). Apa yang terpancar dari dalam diri kita, itulah apa yang “tersembunyi” dalam diri kita


Pengertian Pendidikan Karakter Menurut Ahli

1. Pendidikan Karakter Menurut Lickona 

Menurut Lickona, Pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu orang lain agar dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.


2. Pendidikan Karakter Menurut Suyanto

Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara.


3. Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya

Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).


4. Pendidikan Karakter Menurut Kamus Psikologi

Menurut  kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).

Prinsip Pengembangan Pendidikan Karakter
1. Pendidikan karakter harus mempromosikan nilai-nilai etik inti sebagai landasan bagi pembentukan karakter yang baik
2. Karakter harus dipahami secara komprehensif (pemikiran, perasaan, perilaku)
3. Pendidikan karakter melakukan pendekatan yang proaktif
4. Institusi Pendidikan yang menjadi komunitas yang peduli pada keterikatan antar anggota
5. Menyediakan peluang untuk melakukan tindakan bermoral bagi peserta didik
6. Kurikulum akademis yang bermakna dan menantang
7. Mengembangkan motivasi peserta didik
8. Staf komunitas belajar dan komunitas moral yang menjadi panduan Pendidikan karakter bagi peserta didik
9. Kepemimpinan moral
10. Orangtua & masyarakat sebagai partner dalam upaya pembangunan karakter
11.  Evaluasi


Enam Pilar Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai etis bahwa setiap orang dapat menyetujui – nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religius, atau bias budaya. Beberapa hal di bawah ini yang dapat kita jelaskan untuk membantu siswa memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter, yaitu sebagai berikut :

1. Trustworthiness (Kepercayaan)
Jujur, jangan menjiplak , jadilah handal – melakukan apa yang anda katakan anda akan melakukannya, minta keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun reputasi yang baik, patuh – berdiri dengan keluarga, teman dan negara.

2. Recpect (Respek)
Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun, jangan menggunakan bahasa yang buruk, pertimbangkan perasaan orang lain, jangan mengancam dan menyakiti orang lain, damailah dengan kemarahan dan perselisihan.

3. Responsibility  (Tanggungjawab)
Selalu lakukan yang terbaik, berpikirlah sebelum bertindak – mempertimbangkan konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan anda.

4. Fairness  (Keadilan)
Bermain sesuai aturan, berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain, jangan mengambil keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan orang lain sembarangan.

5. Caring  (Peduli)
Bersikaplah penuh kasih sayang dan tunjukkan rasa peduli anda ,memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan.

6. Citizenship  (Kewarganegaraan)
Menjadikan sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik, bekerja sama, melibatkan diri dalam urusan masyarakat, mentaati hukum dan aturan, menghormati otoritas, melindungi lingkungan hidup.


Mengapa Seorang Anak Membutuhkan Pendidikan Karakter?

Pada dasarnya, pada perkembangan seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja, mempelajari ”aturan main” segala aspek yang  ada di dunia ini . Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter.

Urgensi Pendidikan Karakter
Pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah juga menuntut untuk memaksimalkan kecakapan dan kemampuan kognitif. Dengan pemahaman seperti itu, sebenarnya ada hal lain dari anak yang tak kalah penting yang tanpa kita sadari telah terabaikan.Yaitu, memberikan pendidikan karakter pada anak didik. Pendidikan karakter penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif. Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.
Ada sebuah kata bijak mengatakan “ ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter anak didik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik.Saya mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foerster:

1. Pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut.
2.  Adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru.
3. Adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar.
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya.Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik. Berpijak pada empat ciri dasar pendidikan karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam polapendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anakdidik akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Kalau menurut saya, sebenarnya yang terpenting bukan pilihannnya, namun kemampuan memilih kita dan pertanggungjawaban kita terhadap pilihan kita tersebut, yakni dengan cara berkomitmen pada pilihan tersebut.
Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.



Tujuan & Fungsi Pendidikan Karakter

Tujuan dari adanya pendidikan karakter adalah membentuk bangsa yang tangguh, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha  Esa  berdasarkan  Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi untuk:
1. mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik
2. memperkuat, mengembangkan, dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3. meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.



Komponen Pembentuk Karakter

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan pengerahuan moral (moral knonwing), perasaan moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior/action). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakanbahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan dibawah ini merupakan bagan kterkaitan ketiga kerangka pikir ini.





Gambar: Keterkaitan antara Komponen Moral menurut Lickona



Pengetahuan moral merupakan aspek pembentuk karakter seseorang. pengetahuan moral terdiri atas kesadaran moral (moral awareness), nilai-nilai moral (moral value), memahami perspektif orang lain (perspective taking), memiliki pertimbangan moral (moral reasoning), dan mampu mengambil keputusan (decision making).

Perasaan moral terdiri dari hati nurani (conscience), penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), empati, menyukai kebaikan (loving the good), kemampuan untuk mengelola emosi (self control), dan kesederhanaan (humility).

Tindakan moral terdiri dari kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit)

*Bila ketiga komponen pembentuk karakter ini selaras, maka nantinya akan terbentuk manusia-manusia yang tidak hanya sekedar tau, tetapi juga bisa merasakan, dan akhirnya mengamalkan kebenaran secara baik dan benar.


Proses Pembentukan Karakter Pada Anak
            Suatu hari seorang anak laki-laki sedang memperhatikan sebuah kepompong, ”Eh!” ternyata di dalamnya ada kupu-kupu yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong. Kelihatannya begitu sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa kasihan pada kupu-kupu itu dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah. Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan membantu memotong kepompong agar kupu-kupu bisa segera keluar dr sana. Alangkah senang dan leganya si anak laki laki tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si kupu-kupu memang bisa keluar dari sana. Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap. Apa sebabnya?
Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang dari kepompongnya tersebut, yang mana pada saat dia mengerahkan seluruh tenaganya, ada suatu cairan didalam tubuhnya yang mengalir dengan kuat ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang sehingga ia dapat terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya tidak dapat mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat merayap.
Itulah potret singkat tentang pembentukan karakter, akan terasa jelas dengan memahami contoh kupu-kupu tersebut. Seringkali orangtua dan guru, lupa akan hal ini. Bisa saja mereka tidak mau repot, atau kasihan pada anak. Kadangkala Good Intention atau niat baik kita belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Sama seperti pada saat kita mengajar anak kita. Kadangkala kita sering membantu mereka karena kasihan atau rasa sayang, tapi sebenarnya malah membuat mereka tidak mandiri. Membuat potensi dalam dirinya tidak berkembang. Memandukan kreativitasnya, karena kita tidak tega melihat mereka mengalami kesulitan, yang sebenarnya jika mereka berhasil melewatinya justru menjadi kuat dan berkarakter.
Sama halnya bagi pembentukan karakter seorang anak, memang butuh waktu dan komitmen dari orangtua dan sekolah atau guru untuk mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter. Butuh upaya, waktu dan cinta dari lingkungan yang merupakan tempat dia bertumbuh, cinta disini jangan disalah artikan memanjakan. Jika kita taat dengan proses ini maka dampaknya bukan ke anak kita, kepada kitapun berdampak positif, paling tidak karakter sabar, toleransi, mampu memahami masalah dari sudut pandang yang berbeda, disiplin dan memiliki integritas terpancar di diri kita sebagai orangtua ataupun guru. Hebatnya, proses ini mengerjakan pekerjaan baik bagi orangtua, guru dan anak jika kita komitmen pada proses pembentukan karakter. Segala sesuatu butuh proses, mau jadi jelek pun butuh proses. Anak yang nakal itu juga anak yang disiplin. Dia disiplin untuk bersikap nakal. Dia tidak mau mandi tepat waktu, bangun pagi selalu telat, selalu konsisten untuk tidak mengerjakan tugas dan wajib tidak menggunakan seragam lengkap.
Karakter suatu bangsa merupakan aspek penting yang mempengaruhi pada perkembangan sosial-ekonomi. Kualitas karakter yang tinggi dari masyarakat tentunya akan menumbuhkan keinginan yang kuat untuk meningkatkan kualitas bangsa. Pengembangan karakter yang terbaik adalah jika dimulai sejak usia dini. Sebuah ungkapan yang dipercaya secara luas menyatakan “ jika kita gagal menjadi orang baik di usia dini, di usia dewasa kita akan menjadi orang yang bermasalah atau orang jahat”.


Thomas Lickona mengatakan “ seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang bertanggung jawab dapat diciptakan”. Karenanya, mempersiapkan anak adalah sebuah strategi investasi manusia yang sangat tepat. Sebuah ungkapan terkenal mengungkapkan “Anak-anak berjumlah hanya sekitar 25% dari total populasi, tapi menentukan 100% dari masa depan”. Sudah terbukti bahwa periode yang paling efektif untuk membentuk karakter anak adalah sebelum usia 10 tahun. Diharapkan pembentukan karakter pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak.
Efek berkelanjutan (multilier effect) dari pembentukan karakter positif anak akan dapat terlihat, seperti yang digambarkan oleh Jan Wallander, “Kemampuan sosial dan emosi pada masa anak-anak akan mengurangi perilaku yang beresiko, seperti konsumsi alkohol yang merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan sepanjang masa; perkembangan emosi dan sosial pada anak-anak juga dapat meningkatkan kesehatan manusia selama hidupnya, misalnya reaksi terhadap tekanan yang akan berdampak langsung pada proses penyakit; kemampuan emosi dan sosial yang tinggi pada orang dewasa yang memiliki penyakit dapat membantu meningkatkan perkembangan fisiknya.”
Sangatlah wajar jika kita mengharapkan keluarga sebagai pelaku utama dalam mendidik dasar–dasar moral pada anak. Akan tetapi banyak anak, terutama anak-anak yang tinggal di daerah miskin, tidak memperoleh pendidikan moral dari orang tua mereka.
Kondisi sosial-ekonomi yang rendah berkaitan dengan berbagai permasalahan, seperti kemiskinan, pengangguran, tingkat pendidikan rendah, kehidupan bersosial yang rendah, biasanya berkaitan juga dengan tingkat stres yang tinggi dan lebih jauh lagi berpengaruh terhadap pola asuhnya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah miskin 11 kali lebih tinggi dalam menerima perilaku negatif (seperti kekerasan fisik dan mental, dan ditelantarkan) daripada anak-anak dari keluarga yang berpendapatan lebih tinggi.
Banyak hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang telah mendapat pendidikan pra-sekolah mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada anak-anak yang tidak masuk ke TK, terutama dalam kemampuan akademik, kreativitas, inisiatif, motivasi, dan kemampuan sosialnya. Anak-anak yang tidak mampu masuk ke TK umumnya akan mendaftar ke SD dalam usia sangat muda, yaitu 5 tahun. Hal ini akan membahayakan, karena mereka belum siap secara mental dan psikologis, sehingga dapat membuat mereka merasa tidak mampu, rendah diri, dan dapat membunuh kecintaan mereka untuk belajar. Dengan demikian sebuah program penanganan masalah ini dibutuhkan untuk mempersiapkan anak dengan berbagai pengalaman penting dalam pendidikan prasekolah. Adalah hal yang sangat penting untuk menggerakkan masyarakat di daerah miskin untuk mulai memasukkan anaknya ke prasekolah dan mengembangkan lingkungan bersahabat dengan TK lainnya untuk bersama-sama melakukan pendidikan karakter.


Dorothy Law Nolte pernah menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupan lingkungannya. Lengkapnya adalah :
·  Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
·  Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
·  Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
·  Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyeasali diri
·  Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
·   Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
·  Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan
· Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
·  Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
·  Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan


Karakter Minimal yang akan Dikembangkan
            Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2009 telah mengidentifikasi 49 kualitas karakter yang dikembangkan dari character first dan disepakati sebagai karakter minimal yang akan dikembangkan dalam pembelajaran di Indonesia.
            Pengembangan Pendidikan budaya dan karakter bangsa dari hasil Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta, 14 Januari 2010:
a)      Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Pendidikan Nasional secara utuh
b)      Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan
c)      Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan 4 unsur (pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orangtua) untuk tanggung jawab
d)      Pendidikan budaya dan karakter bangsa memerlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan

 18 Nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa :

1.      Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.      Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3.      Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.      Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5.      Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
6.      Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7.      Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.      Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9.      Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10.  Semangat Kebangsaan
Suatu sudut pandang yang beranggapan dirinya merupakan bagian dari bangsa dan negaranya sendiri dan mampu mewujudkan sikap untuk mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman dan memahami konflik sosial yang terjadi di bangsanya baik dari luar maupun dalam.

11.  Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12.  Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.  Bersahabat/komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
14.  Cinta damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
15.  Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.  Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.  Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.  Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.




Reading Time:

@way2themes